Cerita Seorang Pria Asal Riau Miliki Kesempatan Isi Kajian Keislaman di Masjid Nabawi Madinah

10 Juni 2023, 16:57 WIB
Ariful Bahri, seorang pria yang berasal dari Riau, memiliki keberuntungan menjadi salah satu pengisi kajian keislaman di Masjid Nabawi, Madinah. /Nur Istibsaroh/ANTARA

WARTA TIDORE - Ariful Bahri, seorang pria dari Riau, memiliki kesempatan langka untuk menjadi pengisi kajian keislaman di Masjid Nabawi, Madinah. Dia merupakan lulusan S1 hingga S3 jurusan Syari'ah Universitas Islam Madinah (UIM) dan mengisi kajian di pintu 19, dekat pintu utama Masjid Nabawi.

Pada musim haji seperti sekarang, Ariful Bahri fokus dalam mengkaji manasik haji dan topik-topik lain yang diinginkan oleh jamaah, terutama Warga Negara Indonesia (WNI) yang merupakan mayoritas di antara mereka.

Selain jamaah dari Indonesia, kajiannya juga dihadiri oleh jamaah dari negara-negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam.

Ariful menyampaikan materi dalam Bahasa Indonesia agar peserta dapat dengan mudah memahami dan mencerna informasi yang disampaikan. Di luar musim haji, fokus kajiannya adalah tentang keutamaan Kota Madinah dan sejarahnya, sementara pada musim haji, ia fokus pada topik seputar manasik haji.

Setiap harinya, Ariful dengan tekun mengisi kajian keislaman tanpa ada hari libur, meskipun harus menempuh perjalanan tujuh kilometer dari rumahnya ke Masjid Nabawi.

Jarak tersebut tidak menjadi penghalang baginya untuk berbagi ilmu dengan para tamu Allah. Kecuali jika ia sedang sakit atau dalam perjalanan ke Kota Mekah, dapat dipastikan bahwa ia akan mengisi kajian di masjid bersejarah tersebut.

Bahkan saat sedang demam, ia tetap pergi ke Masjid Nabawi tanpa ada hari libur, termasuk pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Ketika ditanya tentang bagaimana dirinya bisa menjadi pengisi kajian di Masjid Nabawi, Ariful menceritakan bahwa kesempatan itu muncul saat ia kuliah S2 di Universitas Islam Madinah (UIM).

Pada tahun 2019, UIM bekerja sama dengan pengelola Masjid Nabawi meminta kampus tersebut mengirim mahasiswanya yang memiliki keilmuan yang memadai untuk memberikan kajian di masjid yang didirikan oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Ariful mengaku tidak mengetahui proses seleksi yang dilakukan, karena tiba-tiba ia diterima untuk mengisi kajian di Masjid Nabawi. Padahal, ia tidak diminta untuk mengirimkan berkas apa pun dan tidak ada proses seleksi lainnya di kampus.

Bagi Ariful, kesempatan menjadi pengisi kajian di Masjid Nabawi dianggap sebagai karunia besar dari Allah. Ia mendapatkan informasi melalui WhatsApp bahwa namanya terdaftar sebagai mahasiswa UIM yang lolos untuk mengisi kajian di Masjid Nabawi.

Ia kemudian diminta untuk menghubungi salah seorang Syekh di Masjid Nabawi yang bertanggung jawab atas bagian dakwah.

Meskipun pada saat pengumuman ia sedang berlibur di Indonesia setelah Hari Raya Idul Adha, Ariful langsung menghubungi syekh tersebut. Ia kemudian diwawancarai oleh syekh tersebut mengenai Bahasa Arab, hafalan Al-Qur'an, dan hal-hal lainnya.

Kajian di Masjid Nabawi yang diadakan setiap Senin setelah Shalat Maghrib dihadiri oleh ratusan peserta, dengan mayoritas dari mereka adalah jamaah haji asal Indonesia.

Ariful merasa senang dengan respon positif jamaah yang antusias mengikuti kajiannya, bukan hanya duduk menunggu waktu Shalat Isya.

Selain mengaji Al-Qur'an, jamaah haji tersebut ikut serta dalam kajian agar tidak hanya duduk-duduk begitu saja. Pada kesempatan tersebut, Ariful memberikan pesan kepada jamaah Indonesia yang mengikuti kajiannya untuk memanfaatkan waktu di Madinah sebaik mungkin.

Selain menjalankan ibadah Arbain atau shalat fardhu dalam 40 waktu, mereka juga dapat mengisi kegiatan dengan belajar agama, termasuk mengikuti kajian agama yang dia berikan.

Dengan mengikuti kajian tersebut, ada banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh siapa pun, sehingga dapat menumbuhkan cinta terhadap Nabi Muhammad SAW.

Mengenai metode dan sudut pandang yang digunakan dalam mengisi kajian, Ariful, yang merupakan lulusan pesantren di Riau, menyatakan bahwa perbedaan antara empat mazhab dalam Islam tidak terlalu jauh, tergantung pada bagaimana pesan disampaikan kepada jamaah.

Ia bersyukur karena orang Indonesia mudah untuk mendengarkan. Baginya, perbedaan mazhab sebenarnya tidak terlalu signifikan, yang penting adalah cara menyampaikan informasi kepada mereka.

Ariful merasa bangga dan bahagia karena memiliki kesempatan untuk shalat di Masjid Nabawi setiap harinya dan mengajar mengaji di masjid yang menjadi kebanggaan umat Islam. Dengan menjadi pengisi materi di Masjid Nabawi, ia berharap dapat membuat bangga terutama jamaah asal Indonesia.

Ia berpendapat bahwa orang Indonesia juga akan merasa bangga mengetahui bahwa ada ustadz dari Indonesia yang berbagi ilmu keislaman di Madinah.

Hal tersebut juga diperkuat oleh Eef, seorang jamaah haji yang menjadi salah satu peserta kajian tersebut, yang mengaku bangga memiliki ustadz asal Indonesia yang berbagi ilmu keislaman di Madinah.

Eef, yang datang bersama temannya, mencari momen tersebut dengan sungguh-sungguh. Kajian yang ia ikuti membahas adab dan amalan dalam manasik haji, seperti membaca doa saat memasuki Masjid Nabawi dan Raudhah.

Dalam kajian tersebut, jamaah diajarkan mengenai esensi dari manasik haji agar dapat lebih fokus dalam beribadah di Tanah Suci tanpa tujuan lain.

Kajian tersebut juga tidak membahas masalah akidah, keyakinan, atau mazhab tertentu. Penyampaiannya mudah dipahami meskipun jamaahnya terdiri dari orang tua, dan Ariful dapat menyesuaikan bahasannya sesuai dengan kebutuhan mereka.***

Editor: Iswan Dukomalamo

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler